Sandal Jepit Vs Kamar Mandi DPR
Maraknya kasus korupsi yang akhir-akhir ini tidak hanya menyeret sejumlah nama pejabat yang masih aktif sampai para mantan pejabat telah melukai hati rakyat Indonesia. Bukan hanya karena kecewa dengan mental para pejabat bangsa, namun juga kecewa atas buruknya sistem pengawasan atas pelaksanaan operasional sebuah bangsa. Apalagi akhir-akhir ini marak dibahas mengenai pengampunan atas para koruptor sehingga para koruptor bisa melenggang bebas kembali setelah menikmati hasil "jarahannya" tersebut. Menurut kami, diperlukan sebuah hukuman berat sehingga bisa menjadi efek jera bagi para koruptor dan membuat pejabat yang lain menjadi berfikir ulang untuk melakukan korupsi. Apalagi buruknya sistem pemerintahan Indonesia bila dilihat dari ketidakmampuan mengatasi masalah korupsi yang telah menggurita ini, membuat masyarakat sudah tidak mau menaruh harapan lagi pada sebuah clean goverment yang seperti semakin jauh panggang dari api. Bila dilihat dari sudut pandang agama manapun, korupsi jelas dianggap sebagai perbuatan yang tidak baik karena telah menguasai apa yang sebenarnya menjadi hak orang lain. Maraknya korupsi di Indonesia saat ini bahkan korupsi tidak hanya dilakukan sendiri melainkan telah dilakukan secara berjama'ah, sehingga semakin memperburuk citra Indonesia di mata dunia dan secara tidak langsung juga mempengaruhi tingkat kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Beberapa waktu lalu, di Indonesia sempat dihebohkan oleh pemberitaan seorang yang berusia 15 tahun dituduh mencuri sandal mahal di temapt kostnya. Banyak pihak yang mencekal pernyataan tersebut. Aneka judul menghiasi media massa asing, mulai media Singapura hingga AS. Ada yang memberi judul "Indonesians Protest with Flip-Flops", "Indonesians Have New Symbol for Injustice: Sandals", "Indonesia's Flip-Flop Revolution", "Indonesians Dump Flip-Flops at Police Station in Symbol of Frustration Over Uneven Justice", maupun "Indonesians Fight Injustice with Sandals". Dari semua artikel di koran-koran tersebut, sandal memiliki simbol ketikdakadilan. Bagaimana tidak, hanya gara-gara masalah sandal, seorang anak dibawah umur yang belum tentu mencuri sandal mahal tersebut dianiaya oleh para petugas kepolisian saat diintrogasi dan akan dijatuhi hukuman 5 tahun penjara jika terbukti bersalah, hukuman tersebut sama dengan hukuman yang diberikan kepada orang yang melakukan kesalahan berat, seperti pemerkosaan, pencurian, perampokan, teroris dan para pemakai narkoba. Berbagai kecaman dan kritik dilemparkan oleh masyarakat “Jangan mentang-mentang orang besar dan punya peranan kuat, bisa melakukan tindakan seenaknya kepada rakyat kecil, beraninya sama rakyat jelata, coba sekali-kali pukuli itu polisi rekening gendut..... Yang mencuri jauh lebih gila daripada sepasang sendal yang belum tentu anak tersebut nyuri.......”
Disisi lain, para pejabat teras yang banyak melakukan korupsi dibiarkan begitu saja tanpa hukuman yang berat, contohnya saja kasus renovasi kamar mandi DPR yang menelan APBN hingga 2 milyar rupiah. Polemik ini menuai kritik di masyarakat. Belum usai masalah korupsi anggota dewan dan etika anggota dewan yang suka bolos rapat, kini mereka malah meminta hal yang dianggap kurang substansial: “renovasi kamar mandi”.
Hal-hal substansial yang seharusnya dikerjakan oleh anggota dewan terlihat sangat terbengkalai. Hal ini terlihat dari mereka yang suka bolos rapat, rapat yang suka mundur dari jadwal yang ditentukan, dan seterusnya. Suara rakyat Indonesia yang ada di luar mereka yang seharusnya didengarkan kini juga menjadi hal yang berada di awang-awang. Suara itu hanya terdengar kala mereka hendak maju kembali dalam pemilihan umum. Sisanya, suara itu hanya angin lalu.
Namun di lain sisi, anggota dewan dan gedungnya adalah tempat caci-maki dan sumpah serapah berkumpul menjadi satu dari orang-orang di luar. Dipandang sebagai suatu objek, kelompok anggota dewan inilah yang sering menerima segala kejelekan-kejelekan yang dibuang oleh masyarakat yang geram denagn sifat mereka yang suka membolos dan korup. Artinya, rakyat Indonesia menuntut secara substansial peran dari anggota dewan tersebut. Mereka menorehkan sumpah-serapah dan caci-maki karena secara substansial anggota dewan belum menjalankan fungsinya.
Hal ini mirip dengan kamar mandi rusak yang harus direnovasi sehingga bisa kembali normal. Hal ini penting sebab dari merekalah suara rakyat bisa diteruskan. Suara caci-maki itu bisa dibuang dan kemudian membersihkan Indonesia. Kejijikkan dan keburukan yang ada di Indonesia seharusnya bisa dibuang melalui peran substansial anggota dewan. Namun hal ini terjadi jika dan hanya jika anggota dewan sudah direnovasi, jika “kamar mandi” tersebut sudah sungguh-sungguh direnovasi.
Sekarang pertanyaannya adalah, apakah kamar mandi yang hendak direnovasi oleh anggota dewan itu sejalan dengan renovasi “kamar mandi” yang diharapkan oleh masyarakat Indonesia? Atau jangan-jangan, kamar mandi yang hendak direnovasi ini hanyalah salah satu jalan untuk membuka tabir kelam berikutnya yang membuat rakyat Indonesia semakin mencaci-maki anggota dewannya ?
Hal ini tentu saja menuntut perubahan sikap anggota dewan dan juga hukum yang lebih ketat terhadap mereka untuk meningkatkan kedisiplinan. Jadi, hasilnya tinggal dilihat saja: apakah renovasi kamar mandi yang memakan biaya hingga 2 miliar ini akan membuat “kamar mandi” objektif dari rakyat Indonesia berjalan secara substansial ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar